Jumat, 07 Juni 2019




Silahkan Klik Download

Kamis, 06 Juni 2019

Hallo… nama saya Anton Sama. saya dilahirkan disebuah kampung kecil Nisikni, pada tanggal 17 Desember 1997. Nisikni adalah sebuah kampung yang terletak di bagian utara dari kabupaten Yahukimo. Sekarang Saya berumur 22 tahun. Akan tetapi tempat dan tanggal lahir beda dalam ijazah karena saya tidak tahu tanggal dan tempat lahir pada waktu ujian, sehingga guru saya menulis dalam ijazah itu Polimo, 5 Desember 1997 maka dari itu sampai kini saya ikuti tulisan itu. Nama Bapa saya adalah Leo Sama (alm) dan nama Mama saya Salome Nahabial. Saya memiliki tiga saudara perempuan. Sejak saya lahir 1997 sampai tahun 2005 saya tinggal bersama orang tua di kampung Nisikni. Jadi selama usia sekolah saya habiskan bersama orang tua. Bagi orang tua saya pendidikan itu tidak penting bagi mereka, memamg pendidikan itu sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, namun kenapa mereka anggap tidak penting? Satu hal yang saya ingat Bapa saya pernah mengataka; “anak tidak usa sekolah karena orang sekolah harus punya uang banyak, atau orang tua harus orang yang punya pekerjaan atau pengusaha supaya bayar uang sekolah. Sedangkan saya tidak bisa membiayai biaya sekolahmu, lebih baik bekerja dikebun saja”. Saya sadar, bahwa salah satu factor utama yang orang tua saya pikirkan adalah ketidakmampuan untuk membiayai biaya sekolah. Saya tidak setujuh dengan argument yang Bapa tawarkan kepada saya. Tidak peduli seberapa besar biaya sekolah, tetapi keinginan dan semangat saya tidak pernah padam untuk mau sekolah. Pada akhirnya saya putuskan untuk tinggalkan orang tua dan ingin merantau ke daerah orang lain, sehingga saya pindah sekolah ke polimo. Jarak yang cukup jauh dari kampung (Nisikni) ke Polimo, selama tiga hari tiga malam berjalan kaki melintasi jarak tempuhnya. Waktu itu saya berumur Sembilan tahun saya datang ke Polimo distrik Kurima. MASA SEKOLAH Sejak tahun 2006 saya memulai sekolah Dasar (SD) Inpress Sanggalpunu, namun pada bulan Juli tahun yang sama pindah sekolah ke Polimo distrik Kurima. Ketika saya masuk sekolah dasar Inpres di Sanggalpunu, saya hanya ikut satu semester saja kelas satu karena kekurangan tenaga pengajar terpaksa saya tinggalkan dan keluar dari sekolah itu lalu ke Polimo Distrik Kurima bagian selatan dari kabupaten Yahukimo. Saya ingat, bahwa waktu itu sangat sukar bagi saya, karena saya tidak tahu membaca dan menulis bahkan tidak tahu menghitung numeral lagi. Satu kendala besar yang saya hadapi sejak itu adalah saya tidak bisa berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia, karena saya tidak tahu bahasa Indonesia, lahir besar di kampung, sehingga yang saya berkomukasi adalah Bahasa Ibu (Bahasa Yali) yang biasa sebut bahasa NARE dari wilayah adat labago sekarang ini. Saya masuk sekolah dasar SD YPK Baithel Polimo kelas dua, tapi sayangnya saya masih dalam buta huruf (belum mengenal huruf), tetapi saya di terima oleh guru-guru Sekolah Dasar (SD) YPK Baithel Polimo di kelas dua. Di kurima kami punya satu honai, dalam honai itu ada tiga belas orang penghuni termasuk saya kami ada empat belas anak yang tinggal di honai tersebut. Untunglah saya diajar membaca dan menulis dan juga menghitung dari kaka-kaka yang sekampung tinggal di Kurima dalam satu honai, mereka sudah mendahului saya pada tahun sebelumnya. Merekapun juga sekolah. Ada beberapa yang sudah SMP dan ada pula yang masih SD, tetapi mereka sudah bisa membaca, dan menulis. Saya diajar membaca dan menulis baik dari guru wali kelas saya maupun dari kaka-kaka. Saya sangat beruntung karena satu bulan kemudian saya bisa membaca dan juga menghitung. Namun saya masih berkomunikasi di kelas dengan Bahasa ibu, walaupun saya bisa mendengar dan memahami ketika seorang guru berbicara atau mengajar dalam kelas juga komunikasi dengan teman sekelas tetapi sukar untuk menjawab dan berbicara dalam Bahasa Indonesia, masih kaku. Setelah naik kelas tiga, empat, lima, enam, bukannya saya jalan di tempat, malah saya punya nilai lebih tinggi dari pada teman-teman saya. Setiap semester saya dapat peringkat kelas dari jumlah sekian siswa-siswi dalam kelas. Setelah naik kelas enam, ibu guru suruh mengajar kelas satu setiap hari jumat dan sabtu karena tidak ada guru yang datang, semua guru-guru tinggal di kota Wamena. Dalam progress belajar yang saya capai tidak terlalu lama. Walaupun itu butuh waktu yang panjang tetapi karena keingintahuan dan ketabahan saya membuat saya untuk harus lebih maju dalam proses belajar. Akhirnya saya selesaikan sekolah dasar pada tahun 2010, lalu saya lanjut ke SLTP SMP Negri Kurima distrik Kurima kemudian tamat pada tahun 2013. Lalu saya melanjutkan SLTA, SMA PGRI wamena kelas satu sampai naik kelas dua (IPA II) tetapi pada tahun 2014 bulan Juli saya pindah ke SMK Yapesli Wamena Papua Indonesia. Ada beberapa alasan yang membuat saya tidak tahan di SMA PGRI, yang pertama biaya sekolah, kedua karena penyesalan untuk keingintahuan dalam berkomunikasi dengan bahasa Inggris yang baik. Saya diterima baik di SMK Yapesli oleh kepala sekolah (Kepsek), kemudian saya tamat pada tahun 2016. Semester pertama saya menyesuaikan diri dengan teman-teman dan semester kedua saya dapat peringkat pertama akhirnya saya dapat biaya gratis untuk satu semester. Waktu masuk SMA PGRI harapan saya kalau dapat peringkat bisa kasih gratis biaya sekolah bagi anak-anak yang berprestasi. Hal ini memotivasi anak untuk belajar berlomabah-lombah. Walaupun saya dapat peringkat kelas namun masalah biaya sekolah tidak sesuai harapan bagi anak-anak seorang petani termasuk saya. Tetapi di SMK Yapesli, apa yang saya harapkan sudah terpenuhi. Sedangkan semester berikutnya dari SMK Yapesli saya dapat peringkat kelas turun ketiga sehingga dapat biaya gratis selama tiga bulan. Saya merasa senang ketika belajar di SMK Yapesli ini, karena kita betul-betul membuktikan kemampuan kita sebagai anak SMK. Di SMK ini pula saya belajar Bahasa Inggris dengan baik. Dalam ujian sekolah dan nasional saya dinyatakan dapat nilai yang tertinggi dari dua ratus sekian lebih siswa-siswi. Saya juga lulus di Universitas Cenderawasi (UNCEN) jurusan hubungan international melalui jalur mandiri. Namun saya tidak lanjut ke HI di UNCEN tapi saya tes dan diterima di sekolah tinggi keguruan dan ilmu pendidikan Kristen Wamena (STKIP KW) jurusan pendidikan matematika. Saya kuliah selama satu tahun dua semester di perguruan tinggi ini, sebelum naik semester dua saya keluar kampus karena dengan satu alasan, yaitu Bapa saya datang dari kampung dengan keadaan sakit, sehingga tidak ada yang merawat sehingga Saya putuskan untuk keluar dan merawat Bapa, tetapi Bapa saya meninggal pada bulan Juni 2017. Saya tidak punya pilihan dan harapan untuk kuliah akhirnya saya keluar kuliah. Pada tahun 2018 saya lanjut kuliah di Perguruan tinggi yang lain lagi, yaitu sekolah tinggi keguruan dan ilmu pendidikan Kristen Abdi Wacana Wamena (STKIP-AW milik YPPGI) dan sekarang ini saya duduk dalam semester empat. Jadi pendidikan sangat penting bagi kehidupan pribadi saya, karena: yang pertama, saya bisa melihat dan menikmati dunia yang besar. Yang kedua pendidikan bisa mengubah cara berpikir saya, lewat pendidikan juga saya dapat berkomunikasi dengan orang lain. Tidak seperti dahulu yang saya tidak tahu bahasa lagi. Pendidikan adalah sebuah proses yang saya tidak bisa menjadi bisa. HIDUP DI P3W Sudah banyak orang di papua telah ketahui bahwa P3W adalah pusat pembinaan dan pengembangan wanita, tetapi juga menambung para siswi dari kampung (pedalaman) yang sekolah di kota. P3w pula dimana tempat melatih dan menolong para wanita melalui kursus untuk ibu-ibu dari masing masing daerah dari Papua dan Papua Barat. Disini saya bertumbuh bersama mereka dari tahun 2007 sejak masih usia anak sampai hari ini saya tinggal di P3W. Pasti ada yang bertanya, kenapa seorang laki-laki bisa tinggal di P3W? Padahal P3W adalah rumah atau lembaga khusus bagi kaum wanita. Secara singkat kenapa saya bisa tinggal disini? Karena pada tahun 2007 saya mulai kerja dengan paman saya Jekson di P3W Polimo dan sudah kenal baik dengan kaka-kaka pengasuh, sehingga pada waktu itulah saya mulai tinggal di P3W. Biasanya P3w Polimo dan Wamena kami selalu memanggil semua pengasuh baik ketua asrama maupun staf lain dengan “kaka-kaka” bukan “ibu-ibu” hal ini sudah menjadi kebiasaan bagi kami anak-anak asuhannya. Di P3W kita tidak hanya tinggal, belajar dan pergi sekolah tapi tugas bagi kita laki-laki adalah kerja babat halaman, bikin kebun (waktu tinggal di polimo), antar jemput kaka-kaka pengasuh di kali Jetni, Distrik Kurima, bahkan Sampai hari ini saya masih tinggal di P3W, Jadi disini kita saling menolong satu sama lain. Saya merasa bangga dan sangat beruntung ketika saya tinggal di p3w, karena tempat dimana saya bertumbuh dan dibesarkan, walaupun p3w adalah lembaga perempuan namun saya belajar banyak hal di P3w. Juga p3w adalah dimana tempat yang menjadi support bagi saya untuk membayar biaya sekolah bahkan perkuliahan saya. Tetapi salah satu hal yang saya belajar disini adalah bagaimana seorang pria harus menghargai seorang wanita sebagai bagian dari TULANG RUSUKnya, ini hal yang paling penting bagi kehidupan saya masa akan datang nanti. Disini juga saya belajar cara membuat kue dan cara memasak yang baik. Ada banyak kisah senang dan susah saya masih lewati seiring jalanya kehidupan saya di P3w, walaupun itu sangat sukar bagi saya tetapi saya anggap semuanya itu adalah sebuah tanggung jawab yang harus saya lakukan dan selesaikan karena ini sebagai penerimaan sebuah tugas dari Tuhan untuk diselesaikan ketika hidup didunia ini. Terima kasih kepada kaka Octo ronsumbre sebagai ketua asrama P3w GKI polimo dan Wamena yang telah menjadi orang tua saya dan staf lainnya, bahkan mengasuh saya sejak kecil sampai sekarang ini. Juga terima kasih kepada para Pembina dan staf P3w GKI pusat di Jayapura yang perduli kepada saya. Harapan saya akhir dari pendidikan dari STKIP Abdi Wacana Wamena, saya mau mengajar anak-anak Papua pada umumnya dan pada khususnya di Wamena.
 Entrop 21 05 2019